reform 2 birokrasi
Mengawal Sendi-Sendi Kehidupan Bangsa
Wakil Presiden Boediono membuka Kongres ke-2 Persatuan Alumni GMNI
Waki Presiden Boediono di Kongres ke-2 Persatuan Alumni GMNI. (Foto : Jeri Wongiyanto)
Sebelumnya, kongres pertama PA GMNI berlangsung pada 2006 sebagai konsolidasi awal. Saat itu kehadiran para alumni hanyalah atas nama individu. PA GMNI masih menata diri menjadi suatu kekuatan untuk mewadahi alumni GMNI. Organisasi ini sekarang sudah berkembang memiliki 22 pengurus di tingkat provinsi serta 117 di tingkat kabupaten/kota.
Alumni GMNI tersebar di mana-mana dengan latar belakang agama, pendidikan, profesi, maupun partai politik yang berbeda-beda. "Alumni GMNI harus berada di mana-mana, dapat ke mana-mana, tapi tetap bersama-sama," kata Palar seraya menegaskan bahwa PA GMNI tidak beraliansi dengan partai politik manapun."Kami tetap independen," tegasnya.
Secara politik, Palar menegaskan, Alumni GMNI akan terus mendukung Pemerintah selama empat pilar bangsa dipegang teguh. “Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika adalah empat pilar yang harus dipegang terus dalam membangun bangsa,” tegas Palar. Oleh karenya, tema Kongres II PA GMNI kali ini adalah “Memperkokoh Negara Pancasila.”
Alumni GMNI tersebar di mana-mana dengan latar belakang agama, pendidikan, profesi, maupun partai politik yang berbeda-beda. "Alumni GMNI harus berada di mana-mana, dapat ke mana-mana, tapi tetap bersama-sama," kata Palar seraya menegaskan bahwa PA GMNI tidak beraliansi dengan partai politik manapun."Kami tetap independen," tegasnya.
Secara politik, Palar menegaskan, Alumni GMNI akan terus mendukung Pemerintah selama empat pilar bangsa dipegang teguh. “Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika adalah empat pilar yang harus dipegang terus dalam membangun bangsa,” tegas Palar. Oleh karenya, tema Kongres II PA GMNI kali ini adalah “Memperkokoh Negara Pancasila.”
Dalam sambutannya, Wapres memaparkan nasionalisme dan demokrasi. "Berbicara mengenai nasionalisme di antara alumni GMNI seperti berkhotbah di depan kyai,” ujar Wapres bercanda. Intinya, Waspres mengingatkan kembali bahwa Republik Indonesia berdiri atas dasar kesepakatan para pendiri bangsa untuk hidup bersatu dengan damai di antara berbagai perbedaan.
Selain perasaan senasib yang mendorong kesepakatan itu, para pendiri bangsa juga membuat satu pijakan yang kokoh sebagai acuan masa depan bangsa. "Sebab, jika hanya berdasarkan perasaan senasib, tidaklah cukup Sebuah bangsa harus mempunyai dasar untuk masa depannya. Pijakan masa depan inilah yang harus kita kawal bersama," kata Wapres.Empat pilar yang disebutkan Palar sebelumnya adalah acuan masa depan dan pijakan bangsa itu..
Rasa kebangsaan itu harus tetap kita kawal karena selalu ada tantangan, baik dari luar maupun dari dalam. Tantangan dari luar adalah desakan globalisasi yang berjalan dengan sangat cepat dalam beberapa dekade terakhir ini. Dalam era globalisasi. menurut Wapres, konsep negara bangsa justru sagat diperlukan. Penghayatan pada bangsa sendiri harus menjadi prioritas. Semua warga seyogyanya tunduk pada sasaran ini. Bangsa kita memiliki elemen yang cirinya berbeda-beda. Kalau memang kita mencintai bangsa ini, tak bisa tidak, kita harus menyatukan diri. Perbedaan tentu boleh, tapi payungnya adalah kita negara bangsa yang harus bertarung di arena global.
Dalam glonbalisasi, sebuah bangsa memerlukan kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi. Ini adalah suatu keniscayaan. Globalisasi berarti banyak sekali aturan main yang ditentukan dalam forum-dorum dunia. Jika kita tidak mempunyai kemampuan bernegosiasi dan berdiplomasi, maka aturan main tadi bisa jadi akan merugikan Indonesia karena tidak sesuai dengan kemampauan negeri ini. Maka kemampuan berdiplomasi adalah wajib. Adalah tugas kita semua untuk memperjuangkan kepentingan Bangsa di banyak forum internasional di berbagai bidang. Dalam konteks ini, patut diingat bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit. "Bahkan Bung Karmo pun pernah menegaskan: Nasionalisme Indonesia harus tumbuh subur di Tamansari Internasionalisme.Justru nasionalisme kita adalah landasan untuk berkompetisi di luar, bertarung di segala bidang," kata Wapres.
Sedangkan tantangan dari dalam untuk nasionalisme yang paling utama adalah munculnya rasa ketidakadilan di antara warganya. Keadilan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, hukum, hingga politik adalah perajut persatuan. Jika rasa keadilan tercederai, maka persatuan akan terancam pula. Kita harus memerangi ketidak adilan dan memperkuat rasa keadilan di antara kita. Penjabarannya bisa melalui berbagai langkah. "Jangan sampai satu kelompok saja yang ingin mendapatkan semua," tutur Wapres.
Tantangan dari dalam yang lain adalah primordialisme. Ini berupa penonjolan kekhususan suku, agama, dan berbagai ciri lain, yang melebihi kebersaaman sebagai satu bangsa. Kalau menonjolnya terlalu besar, rasa kebangsaan akan terganggu. Tentu, ini bukan berarti kita tidak boleh berbeda. Sejak awal justru bangsa Indonesia sepakat berbeda-beda namun bersepakat hidup bersama. Primordialisme harus kita jaga agar jangan sampai melebihi landasan hidup bersama.
Sedangkan mengenai demokrasi, Wapres kembali menyampaikan pandangannya akan perlunya menjaga kualitas demokrasi kita agar tidak gagal lagi seperti yang pernah terjadi pada dekade 50-an. Sebab secara terus menerus demokrasi juga menghadapi tantangan. Demokrasi bisa macet tidak berjalan baik atau disfungsional. Ini terjadi jika pemerintahan lumpuh dan tidak efektif memberikan hasil nyata kepada rakyat.
Sedangkan persoalan kedua adalah rusaknya demokrasi secara pelan-pelan, mengalami degradasi.Ini terjadi jika praktek money politics dibiarkan marak. Sehingga, suara rakyat tidak lagi tertampung di dalam demokrasi. Kalau pelaku money politicsbisa membeli kebijakan dengan uang, maka landasan dasar demokrasi sudah tidak ada. Sebab, hakekatnya demokrasi seharunsya merupakan penyaluran isi hati rakyat. "Money politics adalah mekanisme pasar yang salah yang diterapkan pada demokrasi," kata Wapres.
Sedangkan sebab kedua yang membuat demokrasi rusak adalah politisasi birokrasi. Jika birokrasi boleh dipolitisasi, artinya birokrasi tidak lagi melayani kepentingan bangsa melainkan melayani kepentingan tertentu.
Di penghujung sambutannya, Wapres mengajak semua orang meerenungkan hakekat nasionalisme dan patriotisme. Seorang nasionalis belum tentu seorang patriot, tapi seorang patriot sudah pasti seorang nasionalis. Patriotisme adalah nasionalisme plus kesadaran untuk berkorban,. Di sini ada perbedaan antara nasionalisme yang aktif dan pasif. Maka yang kita perlukan adalah patriot-patriot. yang cinta pada tanah air dan mau berkorban. Sebab, cinta memang pengorbanan. "Generasi kita dan juga pahlawan pendahuku kita memang sudah takdirnya, belum menjadi generasi yang akan memetik buahnya. Anak cucu kita nanti yang akan memetik buahnya," tutur Wapres. (Bey Machmuddin)
Selain perasaan senasib yang mendorong kesepakatan itu, para pendiri bangsa juga membuat satu pijakan yang kokoh sebagai acuan masa depan bangsa. "Sebab, jika hanya berdasarkan perasaan senasib, tidaklah cukup Sebuah bangsa harus mempunyai dasar untuk masa depannya. Pijakan masa depan inilah yang harus kita kawal bersama," kata Wapres.Empat pilar yang disebutkan Palar sebelumnya adalah acuan masa depan dan pijakan bangsa itu..
Rasa kebangsaan itu harus tetap kita kawal karena selalu ada tantangan, baik dari luar maupun dari dalam. Tantangan dari luar adalah desakan globalisasi yang berjalan dengan sangat cepat dalam beberapa dekade terakhir ini. Dalam era globalisasi. menurut Wapres, konsep negara bangsa justru sagat diperlukan. Penghayatan pada bangsa sendiri harus menjadi prioritas. Semua warga seyogyanya tunduk pada sasaran ini. Bangsa kita memiliki elemen yang cirinya berbeda-beda. Kalau memang kita mencintai bangsa ini, tak bisa tidak, kita harus menyatukan diri. Perbedaan tentu boleh, tapi payungnya adalah kita negara bangsa yang harus bertarung di arena global.
Dalam glonbalisasi, sebuah bangsa memerlukan kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi. Ini adalah suatu keniscayaan. Globalisasi berarti banyak sekali aturan main yang ditentukan dalam forum-dorum dunia. Jika kita tidak mempunyai kemampuan bernegosiasi dan berdiplomasi, maka aturan main tadi bisa jadi akan merugikan Indonesia karena tidak sesuai dengan kemampauan negeri ini. Maka kemampuan berdiplomasi adalah wajib. Adalah tugas kita semua untuk memperjuangkan kepentingan Bangsa di banyak forum internasional di berbagai bidang. Dalam konteks ini, patut diingat bahwa nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit. "Bahkan Bung Karmo pun pernah menegaskan: Nasionalisme Indonesia harus tumbuh subur di Tamansari Internasionalisme.Justru nasionalisme kita adalah landasan untuk berkompetisi di luar, bertarung di segala bidang," kata Wapres.
Sedangkan tantangan dari dalam untuk nasionalisme yang paling utama adalah munculnya rasa ketidakadilan di antara warganya. Keadilan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, hukum, hingga politik adalah perajut persatuan. Jika rasa keadilan tercederai, maka persatuan akan terancam pula. Kita harus memerangi ketidak adilan dan memperkuat rasa keadilan di antara kita. Penjabarannya bisa melalui berbagai langkah. "Jangan sampai satu kelompok saja yang ingin mendapatkan semua," tutur Wapres.
Tantangan dari dalam yang lain adalah primordialisme. Ini berupa penonjolan kekhususan suku, agama, dan berbagai ciri lain, yang melebihi kebersaaman sebagai satu bangsa. Kalau menonjolnya terlalu besar, rasa kebangsaan akan terganggu. Tentu, ini bukan berarti kita tidak boleh berbeda. Sejak awal justru bangsa Indonesia sepakat berbeda-beda namun bersepakat hidup bersama. Primordialisme harus kita jaga agar jangan sampai melebihi landasan hidup bersama.
Sedangkan mengenai demokrasi, Wapres kembali menyampaikan pandangannya akan perlunya menjaga kualitas demokrasi kita agar tidak gagal lagi seperti yang pernah terjadi pada dekade 50-an. Sebab secara terus menerus demokrasi juga menghadapi tantangan. Demokrasi bisa macet tidak berjalan baik atau disfungsional. Ini terjadi jika pemerintahan lumpuh dan tidak efektif memberikan hasil nyata kepada rakyat.
Sedangkan persoalan kedua adalah rusaknya demokrasi secara pelan-pelan, mengalami degradasi.Ini terjadi jika praktek money politics dibiarkan marak. Sehingga, suara rakyat tidak lagi tertampung di dalam demokrasi. Kalau pelaku money politicsbisa membeli kebijakan dengan uang, maka landasan dasar demokrasi sudah tidak ada. Sebab, hakekatnya demokrasi seharunsya merupakan penyaluran isi hati rakyat. "Money politics adalah mekanisme pasar yang salah yang diterapkan pada demokrasi," kata Wapres.
Sedangkan sebab kedua yang membuat demokrasi rusak adalah politisasi birokrasi. Jika birokrasi boleh dipolitisasi, artinya birokrasi tidak lagi melayani kepentingan bangsa melainkan melayani kepentingan tertentu.
Di penghujung sambutannya, Wapres mengajak semua orang meerenungkan hakekat nasionalisme dan patriotisme. Seorang nasionalis belum tentu seorang patriot, tapi seorang patriot sudah pasti seorang nasionalis. Patriotisme adalah nasionalisme plus kesadaran untuk berkorban,. Di sini ada perbedaan antara nasionalisme yang aktif dan pasif. Maka yang kita perlukan adalah patriot-patriot. yang cinta pada tanah air dan mau berkorban. Sebab, cinta memang pengorbanan. "Generasi kita dan juga pahlawan pendahuku kita memang sudah takdirnya, belum menjadi generasi yang akan memetik buahnya. Anak cucu kita nanti yang akan memetik buahnya," tutur Wapres. (Bey Machmuddin)
BANDUNG– Wakil Presiden (Wapres) Boediono menegaskan, birokrat tak boleh bermain politik dalam melaksanakan tugasnya. Birokrasi harus tunduk pada keputusan politik.
Di lain pihak, politisi juga jangan menyeret birokrat ke kancah politik. Interaksi yang tak sehat antara birokrasi dan politik memiliki akibat sistemik yang serius, yakni birokrasi berkinerja rendah dan korup.
Boediono menyampaikan hal itu dalam sambutan dengan judul “Jalan Penuh Tantangan Menuju Konsolidasi Demokrasi” saat membuka Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XIV di Bandung, Selasa (20/7/2010) malam ini. Bila birokrat bermain politik, tambah Wapres, delegitimasi hanya menunggu waktu.
Politisasi birokrasi merupakan fenomena lain yang perlu diwaspadai jika Indonesia ingin menjaga kualitas dan efektivitas kebijakan publik. Pada gilirannya, kebijakan publik akan ikut menentukan kualitas kinerja sistem politik secara keseluruhan.
“Bila mesin penggerak utama pemerintahan tak berjalan baik, kita tak bisa mengharapkan pemerintahan dan sistem politik yang menghasilkan manfaat bagi rakyat,” tuturnya.
Wapres menambahkan, jalan menuju demokrasi penuh kerawanan. Kewaspadaan dan komitmen bersama diperlukan agar kondisi itu bisa dilalui dengan selamat.
Boediono menuturkan, demokrasi dapat mengalami degenerasi karena, antara lain, politik uang serta penyalahgunaan kewenangan publik dan korupsi.
This post was submitted by KOMPAS.
Komentar